Gue lupa kapan terakhir kali merasakan perasaan seasing ini.
Perut gue serasa diaduk, jantung gue berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, dan dada bergemuruh riuh sampai-sampai sorainya bisa gue dengar dengan mudahnya.
Gue mulai kehilangan diri gue sendiri.
Gue kehilangan keberanian yang sedari dulu selalu gue junjung tinggi kalau-kalau di kemudian hari Tuhan bikin gue ada di posisi seperti ini.
“Mama mau ketemu sama Karel.”
Suara yang udah nggak familiar lagi di telinga gue mendadak harus kembali gue ingat.
Nggak.
Lebih tepatnya gue memang nggak ingin lagi mengingat suara itu.
Dan ternyata keadaan masih memaksa gue untuk kembali pada memori yang mati-matian gue kubur di relung paling dalam yang gue sebut dengan kekecewaan.
“Karel gimana kabarnya?”
Lucu rasanya mendengar wanita yang dulu dengan vokalnya menyuarakan bahwa gue adalah penghambat dalam hidupnya kini berubah menjadi wanita yang mendadak peduli dengan kehidupan gue.
“Mama kangen sama Karel….”
Suara tawa gue refleks terdengar memenuhi pojok kafe yang sore ini terasa begitu lengang dari biasanya, sepertinya gue benar-benar harus berterima kasih pada Cakra karena mengizinkan gue untuk menggunakan private space yang ada di kafenya seperti saat ini.
“Karel…”
Tangan kanan gue terangkat, “Udah… jangan sebut nama aku lagi.”
“Karel… Mama mau minta maaf.”
Setelah 7 tahun membiarkan gue seperti anak laki-laki yang nggak lagi mengenal sosok Ibu dalam hidupnya.
“Mama tau waktu itu Mama ngelakuin kesalahan besar ke kamu.”
Setelah 7 tahun membiarkan gue menunggu di meja makan sendirian setiap pulang sekolah.
“Mama mau coba jadi Ibu yang baik buat kamu.”
Dan setelah 7 tahun ketika gue mulai merelakan sosok Ibu yang nggak ingin lagi gue ingat.
Sehingga yang bisa gue lakukan hanyalah pergi.
Kali ini biar perempuan itu yang melihat punggung gue perlahan pergi… menjauh.
Namun, belum selesai.
Langit dan seisinya masih belum selesai dengan permainannya.
“Mama… divonis kanker stadium akhir. Mama nggak bisa hidup lebih lama lagi… Mama nggak tau harus kemana… Mama udah nggak punya tujuan buat pulang.”
Perlahan gue mulai bisa mengartikan perasaan asing yang mendadak singgah di benak gue saat ini.
Langkah kaki gue terhenti.
“Karel juga nggak pernah punya tujuan buat pulang. Tujuh tahun bikin Karel lupa sama yang namanya rumah. Karel udah nggak punya rumah lagi.”
Lalu gue memutuskan untuk benar-benar pergi.
Pergi meninggalkan segala kerinduan milik gue yang nggak pernah terucap.
Meninggalkan kerinduan yang nggak pernah bertemu dengan pemiliknya.
Karena dari awal, gue memang udah nggak punya tujuan lagi untuk pulang.