Pertama kalinya.
Pertama kalinya gue mendatangi acara pernikahan dengan perasaan yang seberantakan ini. Disaat biasanya gue dengan semangat memilih outfit yang akan gue kenakan, malam ini gue bahkan nggak lagi memiliki mood untuk sekedar melihat isi lemari. Harusnya gue tau kalau dengan datang ke acara malem ini, tandanya gue akan bertemu dengan temen-temen SMA gue, dan itu tandanya akan ada dia.
Her.
Erina Maraya.
Bahkan dari sejak gue dateng, gue bisa dengan mudahnya melihat ekor matanya yang seakan terus mengawasi semua pergerakan gue dan laki-laki disamping gue yang nggak sedikitpun melepas tangannya dari pinggang gue hingga saat ini, yang membuat gue sangat berterima kasih karena gue merasa malam ini gue lah pemenangnya. Just call me childish, but this is the feeling that I’ve been waiting for all along.
Sampai akhirnya ketika Malik dengan impulsifnya menarik tangan gue untuk mengikuti langkahnya keluar dari ballroom hotel menuju ke arah mobilnya, disitulah gue mulai menyadari bahwa sikap yang Malik tunjukkan sedari tadi murni bukan karena sebuah kepemilikan yang ingin dia perlihatkan di hadapan temen-temen gue, tapi hanya karena dia merasa harus melakukan itu untuk membuat gue merasa aman.
Bahkan isi kepala gue sendiri udah terlalu berisik untuk memikirkan kemungkinan yang terjadi berikutnya.
“Aku bawa mobil sendiri.” Ujar gue sambil menghentikan langkah ketika Malik udah bersiap membukakan pintu untuk gue.
“We need to talk, Kiara.”
“About what?”
“About us.”
Hembusan angin yang mengenai ujung kulit gue selaras dengan suara rendah milik Malik yang mendadak membuat gue justru merasa takut dan ingin melarikan diri dari situasi ini.
Gue benci.
Gue benci diperlakukan seolah-olah seperti gue orang jahatnya.
Dan gue benci ketika gue berakhir nggak memiliki pilihan selain duduk di jok samping kemudi dengan perasaan paling asing yang belum pernah gue rasakan sebelumnya.
“Erina udah nggak kerja lagi sama aku.”
Dari semua hal yang bisa Malik ucapkan untuk membuka percakapan diantara kami, dia memilih untuk menyebut nama seseorang yang paling nggak ingin gue dengar untuk saat ini. Sehingga respon yang bisa gue berikan hanyalah sebuah tawa hambar yang menandakan bahwa gue tidak tertarik.
“What are you laughing at?” Gue mendengar nada tidak suka yang Malik suarakan sembari memandang gue tidak percaya.
“No… it just funny you know. Of all the things we could talk about, you choose to mention a name that puts us in this situation.”
“What’s situation?”
Tawa getir kali ini terdengar dari mulut gue, “Don’t act like you don’t know, Malik. I’m really sick of this.”
Hening menyergap.
Lalu entah di detik keberapa ketika sebuah kalimat yang Malik ucapkan berhasil membuat gue kembali menertawakan skenario semesta yang membuat gue bertemu kembali dengan Malik setelah 5 tahun lamanya.
Atau memang mungkin pertemuan ini bukan lagi milik kami.
“Perhaps from the beginning, you never wanted to make an effort for this relationship, Kiara.”
Tenggorokan gue tercekat.
Mendadak dada gue bergemuruh dan segala ingatan buruk yang berusaha gue kubur hampir 10 tahun lamanya kembali muncul ke permukaan.
Pada akhirnya, nama Erina Maraya mungkin memang akan menjadi pemenangnya.
“Ternyata selama ini cuma sebatas itu cara kamu ngeliat aku.” Gue berujar lirih. Tenaga gue udah habis tidak bersisa.
“Kiara… please.”
Dengan cepat gue menepis tangan Malik yang hendak meraih tangan gue, “Mungkin dari awal emang bukan aku orangnya. Let’s just stop here, I’m tired and I’ve reached my limit.”
But, do you know what’s the funniest part?
When the truth is, he’s the one who didn’t choose us.
Gue kira, Malik akan mencegah gue.
Gue kira, Malik tidak akan membiarkan gue pergi.
Gue kira, Malik masih akan memilih gue.
But no.
Tonight, he easily let me go.
And I chose to leave… him.